Jumat, 19 Desember 2014

DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU (MASA PEMERINTAHAN SOEHARTO)




DEMOKRASI PANCASILA ERA ORDE BARU (MASA PEMERINTAHAN SOEHARTO)

Demokrasi di Indonesia Masa Orde Baru

  Pemerintahan Orde Lama berakhir setelah keluar Surat Perintah Sebelas Maret 1966 yang dikuatkan dengan Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966. Sebagai pengganti masa Orde Lama, maka muncul pemerintahan Orde Baru dengan dukungan kekuatan TNI-AD sebagai kekuatan utama.

Pelaksanaan demokrasi masa Orde Baru ditandai perbedaan, yaitu dilaksanakan pemilihan umum dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia lebih dari lima kali untuk memilih anggota DPRD  tingkat I, DPRD tingkat II, dan DPRD. Pemilihan tersebut kemudian membentuk MPR yang bertugas menetapkan GBHN dan memilih Presiden dan Wakil Presiden.

Dari hasil pemilu 1971 sampai pemilu 1997, pucuk pemerintahan tidak pernah mengalami pergantian, hanya pejabat setingkat menteri yang silih berganti. Namun terjadi kemajuan pesat di bidang pembangun secara fisik dengan bantuan dari negara asing yang memberikan pinjaman lunak. Oleh karena besarnya pinjaman yang menjadi beban pemerintah, bersamaan dengan krisis ekonomi maka pemerintahan menjadi goyah. Selain itu, dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan negara pada rezim orde baru kurang kosekuen dalam pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945. Tanggal 21 Mei 1998 presiden resmi mengundurkan diri.
Kekuasaan Orde Baru sampai tahun 1998 dalam ketatanegaraan Indonesia tidak mengamalkan nilai-nilai demokrasi. Praktik kenegaraan Orde Baru dijangkiti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Pada masa orde baru, kebijakan masih pada pemerintah, namun sektor ekonomi sudah diserahkan ke swasta/asing, fokus pada pembangunan ekonomi, sentralistik, demokrasi Pancasila, kapitalisme.
Soeharto dan Orde Baru tidak bisa dipisahkan. Sebab, Soeharto melahirkan Orde Baru dan Orde Baru merupakan sistem kekuasaan yang menopang pemerintahan Soeharto selama lebih dari tiga dekade. Betulkah Orde Baru telah berakhir? Kita masih menyaksikan praktik-praktik nilai Orde Baru hari ini masih menjadi karakter dan tabiat politik di negeri ini. Kita masih menyaksikan koruptor masih bercokol di negeri ini. Perbedaan Orde Baru dan Orde Reformasi secara kultural dan substansi semakin kabur. Mengapa semua ini terjadi? Salah satu jawabannya, bangsa ini tidak pernah membuat garis demarkasi yang jelas terhadap Orde Baru. Tonggak awal reformasi 11 tahun lalu yang diharapkan bisa menarik garis demarkasi kekuatan lama yang korup dan otoriter dengan kekuatan baru yang ingin melakukan perubahan justru “terbelenggu” oleh faktor kekuasaan.Sistem politik otoriter (partisipasi masyarakat sangat minimal) pada masa orba terdapat instrumen-instrumen pengendali seperti pembatasan ruang gerak pers, pewadahunggalan organisasi profesi, pembatasan partai poltik, kekuasaan militer untuk memasuki wilayah-wilayah sipil, dll.
Era Orde Baru dalam sejarah republik ini merupakan masa pemerintahan yang terlama, dan bisa juga dikatakan sebagai masa pemerintahan yang paling stabil. Stabil dalam artian tidak banyak gejolak yang mengemuka, layaknya keadaan dewasa ini. Stabilitas  yang entah semu atau memang riil tersebut, diiringi juga dengan maraknya pembangunan di segala bidang. Era pembangunan, era penuh kestabilan, yang saat ini menimbulkan romantisme dari banyak kalangan di negara ini, ditandai dengan semakin gencarnya campaign “piye kabare” di seantero pelosok nusantara. Menariknya, dua hal yang menjadi warna Indonesia di era Orde Baru, yakni stabilitas dan pembangunan, serta merta tidak lepas dari keberadaan Pancasila. Pancasila menjadi alat bagi pemerintah (baca: Soeharto) untuk semakin menancapkan kekuasaan di Indonesia. Pancasila begitu diagung-agungkan; Pancasila begitu gencar ditanamkan nilai dan hakikatnya kepada rakyat; dan rakyat tidak memandang hal tersebut sebagai sesuatu yang mengganjal, kala itu tentunya.
Gencarnya penanaman nilai-nilai Pancasila di era Orde Baru salah satunya dilatarbelakangi hal bahwa rakyat Indonesia harus sadar jika dasar negara Indonesia adalah Pancasila itu sendiri.  “Masyarakat pada masa itu memaknai pancasila sebagai hal yang patut dan penting untuk ditanamkan”, ujar Hendro Muhaimin, peneliti di Pusat Studi Pancasila UGM. Selain itu menurutnya pada era Orde Baru semua orang menerima Pancasila dalam kehidupannya, karena Pancasila sendiri adalah produk dari kepribadian dalam negeri sendiri, dan yang menjadi keprihatinan khalayak pada masa itu adalah Pemerintahnya, bukan Pancasilanya.
Hendro Muhaimin juga menambahkan bahwa Pemerintah di era Orde Baru sendiri terkesan “menunggangi” Pancasila, karena dianggap menggunakan dasar negara sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. “Pada dasarnya, yang salah bukanlah Pancasila, karena Pancasila dibuat dari penggalian kepribadian bangsa ini, dari cerminan bangsa Indonesia, maka para pemegang kekuasaan pada rezim  itu, yang menggunakan Pancasila secara politis, adalah pihak yang seharusnya bertanggungjawab akan gejolak-gejolak yang terjadi”, ujarnya. Namun disamping hal-hal tersebut, penanaman nilai-nilai Pancasila di era Orde Baru juga dibarengi dengan praktik dalam kehidupan sosial rakyat Indonesia. Kepedulian antarwarga  sangat kental, toleransi di kalangan masyarakat cukup baik, dan budaya gotong-royong kala itu sangat dijunjung tinggi.
Selain itu, contoh dari gencarnya penanaman nilai-nilai tersebut dapat dilihat dari penggunaan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berorganisasi, yang menyatakan bahwa semua organisasi, apapun bentuknya, baik itu organisasi masyarakat, komunitas, perkumpulan, dan sebagainya haruslah mengunakan Pancasila sebagai asas utamanya. Apabila ada asas-asas organisasi lain yang ingin ditambahkan sebagai asasnya, tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Oleh karena itu, muncul juga anggapan bahwa Pancasila dianggap sebagai “pembius” bangsa, karena telah “melumpuhkan” kebebasan untuk berorganisasi.
Demokrasi Pancasila: Wajah Semu Era Orde Baru
Termasuk di dalam P4, melalui Ketetapan MPR (TAP MPR) No. II/MPR/1978 (sudah dicabut), adalah 36 butir Pancasila sebagai ciri-ciri manusia Pancasilais. Pemerintah Orde Baru mengharapkan melalui 36 butir Pancasila, yang serta merta “wajib hukumnya” untuk dihafal, akan terbentuk suatu tatanan rakyat Indonesia yang mempraktikkan kesemuanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, lalu terciptalah negara Indonesia yang adil dan makmur, jaya di segala bidang. Akan tetapi, justru penghafalan itu yang menjadi bumerangnya. Cita-cita yang terkembang melalui P4 hanya keluar dari mulut saja, tanpa ada pengamalan yang berarti untuk setiap butir yang terkandung di dalamnya, meskipun tidak terjadi secara general. Sebagai contoh adalah mengenai pelaksanaan demokrasi di era Orde Baru. Berwajahkan “Demokrasi Pancasila”, akan tetapi dalam kenyataannya bak jauh panggang dari api. “Penataran itu sifatnya hanya menghafal, kemudian mengenai proses pelaksanaan secara langsung dari 36 butir Pancasila, dulu melalui kegiatan seperti gotong-royong kerja bakti warga. Tetapi pelaksanaan demokrasi pada saat Orde Baru itu sangat minim”, ujar Hendro Muhaimin.
Kebebasan tanpa koersi yang menjadi pilar utama dari prinsip demokrasi secara umum, dipadukan dengan nilai-nilai Pancasila yang terkandung melalui kelima silanya, sejatinya merupakan sebuah kombinasi yang apabila dilaksanakan sesuai hakikatnya oleh Pemerintah Orde Baru tentu akan memberikan dampak positif bagi kehidupan rakyat Indonesia pada saat itu. Akan tetapi, justru koersilah yang menjadi “senjata” pemerintah untuk menciptakan kehidupan yang, berdasarkan standar yang dibangun pada saat itu, bernuansa ketertiban dan keselarasan.(***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar